26 April 2013

Lanjut Cerpen 1968 AYAM SABUNGAN oleh Faisal Baraas


Lanjutan Posting Sebelumnya…

Beli, beli Pegeg…”  serunya sambil memegangi tangan lelaki itu. Sore itu Pegeng mengantarkan Nyoman Sari pulang sambil menyangkol ayamnya.

Galungan pun dating, sejak pertandingan di balai banjar  yang menggemparkan dusun. Dengan diantar oleh pak kelian banjar, Pegeg pergi kerumah puri dengan mengenakan baju baru. Ayamnya ditaruhb disalam sangkar yang mungil sehingga mudah dibawa.
Ia mempunyai harapan yang besar dan mempunyai rencana-rencana yang besar pula. Ia akan kawin dengan nyoman sari.
Kemarin sebeluh hari besar ini, Pegeg datang kerumah saya. Ia menceritakan rencana itu kerumah saya. Dan ia meminta nasihat-nasihat saya, baik itu nasiht-nasihat kawin, maupun nasihat-nasihat apa yang harus dilakukan ketika berada di puri nanti.
“Saya sebenarnya belum mau kawin Gusti, karena saya merasa belum sanggup,” katanya. Ia merasa tidak takut-takut lagi dengan saya walaupun rasa hormatnya masih berlebih-lebihanan saja terhadap saya.
“Tapi Sari mendesak sejak dulu, semenjak kami mulai surat-suratan”, katanya lagi.
“Kau bias menulis?”, tanya saya.
“Tidak Gusti”, jawabnya malu-malu. “Teman saya yang menuliskan, yaitu Jelantik”.  Saya tidak pernah sekolah, orang tua saya sudah meninggal semenjak saya masih kanak-kanak. Sedang Sari”, katanya, “Sari pernah sekolah.
“Kalau ayam saya menangdan saya mendapatkan sawah itu, kami akan segera kawin,” katanya akhirnya.
Sekarang, dusun kecil itu menanti-nantikan berita dari puri. Tetapi telah dua hari berjalan, Pak Kelia dan Pegeg belum juga ada kabarnya.
Pada hari kelima, datanglah Pak Kelian seorang diri.
“Mana Pegeg?”, tanya saya.
Tapi orang-orang merasa tegang dan bertanya-tanya begini.
“Ayam Pegeg menang, Pak?”
“Bagaimana kabarnya sabungan itu?”
“Siapa yang menang, Pak?”
Kemudian Pak Kelia banjar bercerita panjang lebar. Pada hari galungan itu puri penuh dengan orang-orang yang hendak menyaksikan sabungan yang besar itu. Keluarga puri semuanya keluar dengan pakaian yang berdenyar-denyar.  Anak Agung Panji Anom mengenakan sarung merah tua yang memakai parade-parade kuning emas dan warna perak. Memakai keris pusaka dan udeng. Sangat gagah sekali. Sabungan tahun ini memang mangagumkan.
Tentang Ayam Pegeg belum bias diajukan kali ini. Karena banyaknya ayam-ayam lain yang minta yang minta diadu dengan ayam Panji.
Akhirnya diadakan Undian, Ayam Pegeg mendapatkan nomor tiga, itu berarti dua Galungan lagi baru bias diperagakan.  Oleh Pak Kelian, Pegeg di titipkan pada seorang kenalannya di daerah puri dan disana dia dicarikan pekerjaan sebagai buruh pasar.
Sebaiknya memang, Pegeg tinggal saja didekat puri, sambil menunggu giliran ayamnya ditahun yang akan datang. Semua ini agar ia cepat mengetahui kabar-kabar dari puri dan agar iya memiliki lebih pengalaman hidup diluar dusun, apalagi ia masih muda.
Sampai berbulan-bulan kabar ini menjadi pembicaraan yang hangat di dusun kecil itu. Orang-orang mengagumi Pegeg, orang-orang mempercayakan ayamnya.
Mereka membayangkan pemuda itulah yang akan mengangkat nama dusun kecil itu dan sekaligus mengangkat nama Pegeg sebagai orang yang kaya raya. Hadiah sebidang sawah yang begitu luas tentu akan digondolnya. Dan selama dua tahun, ia bias mengerjakan sawah itu sebaik-baiknya pula. Apabila ia pandai menabung, tentu iya akan mempunyai harta sendiri kelak.
Tetapi lama-lama pembicaraan itupun menjadi layu dan orang-orang mulai melupakan Pegeg. Kesibikan-kesibukan mengurusi anak-anak di dusun yang kecil itu sungguh merepotkan. Tidak jarang, seorang anak datang sekolah dengan telanjang saja. Dan sering pula tidak mandi berhari-hari.
Pada Galungan ini dusun kecil itu kembali dihebohkan dengan pembicaraan yang selama ini telah terpendam. Pegeg datang dan bergalungan di dusun. Ia tampak lebih tegap dan bersih. Pakaiannya baru dan lebih memiliki style yang lebih modern. Orang-orang menyambutnya dan mendengarkan cerita-ceritanya. Ia bekerja di pasar sebagai buruh harian. Hasilnya lumayan juga. Dan sesekali iya menyabung ayamnya denga taruhan yang kecil-kecilan. Dan ia selalu menang. Ia selalu menang.
Pegeg datang kerumah saya.
“Baik-baik saja Gusti Guru?”, tanyanya perihal keadaan saya.
Saya mengangguk gembira melihat kawan saya ini. Ia kini memanggil saya dengan sebitan Gusti Guru.
Malam itu ia makan dirumah saya. Sampai larut malam iya bercerita tentang pengalamannya. Saya masih juga bertahan mendengarkannya, walaupun saya telah jemu sekali.
“Sari mendesak saya untuk mengajaknya kepuri tempat saya. Dan segera saja kawin tanpa menunggu kemenangan ayam saya”  katanya belakangan.
“Ya, itu baik sekali” kata saya.
“Mengapa?”
“Saya masih tetap mempertahankan rencana semula”.
“Tapi kau harus ingat, Geg. Perempuan paling merasa tersiksa dengan menanti”.
Ia terdiam beberapa saat.
“Tapi bukankah ayam saya akan berlaga dengan ayamnya Gusti Panji, enam bulan lagi? Pada hari raya lagi, sekali ini? Sari akhirnya mau menunggu. Ayam saya tentu menang, Gusti Guru. Dan kami akan segera kawin”.
Tapi pada hari yang ditunggu-tunggunya itu pun, tidak ada berita yang masuk pada dusun kami.  Semuanya tegang menanti, tetapi ketegangan ini akhirnya melemas juga dan hilang begitu saja.
Beberapa kali saya ketemu Nyoman Sari di warugnya. Iya selalu menanyakan tentang Pegeg. Tapi saya pun tidak bias berbuat apa-apa, karena pada saya sendiri tidak ada berita yang sampai.
Nyoman Sari adalah type gadis di dusun kecil itu. Iya selalu setia dalam menanti, walaupun ia akan selalu dalam kecemasan. Saya serign mengopi di warungnya.
Setahun kemudian saya mengajak istri saya pulang kekampung halaman saya sendiri, yang jauhnya seratus lima puluh kilometer dari tempat tugas saya di dusun kecil itu.
Sepulangnya dari berlibur itu kebetulan saya mampir di puri. Saya bertemu dengan sahabat saya yang tidak pernah berkabar dan tidak pernah pulang ke dusun.
Ia kelihatannya agak kurus. Wajahnya kelihatan pucat dan dadanya kini telah menciut sedikit.
“Saya masih menunggu giliran ayam saya, pasti dapat pada Galungan mendatang ini, Gusti Guru. Sabungan yang lalu, diadakan undian baru. Banyak sekali ayam-ayam yang baru. Berpuluh-puluh. Tahun inilah saya akan maju. Undian itu sah sekali. Kalau Gusti Guru sampai di dusun, tolong sampaikan berita saya kepada Nyoman. Suruhlah ia bersabar sedikit bulan lagi”.
“Mengapa engkau tidak pernah ke dusun, sekali-sekali?” Tanya saya kepadanya.
“Saya belakanyan ini sakit-sakit saja, Gusti Guru. Galungan yang baru kena typhus, kata teman saya”.
 Ia hendak mengajak saya ketempatnya tinggal, tapi saya menolak dengan baik. Karena saya harus kembali kedusun hari itu juga, mengingat keterlambatan saya untuk mengajar kembali.
“Bagaimana dengan ayammu?” tiba-tiba saya ingat dengan ayamnya.
Baik-baik saja, Gusti Guru. Tapi saya kini tidak pernah lagi menyabungnya. Saya memelihara dengan baik-baik untuk disabung pada sabungan akan datang ini”.
Tidak banyak saya dapat bercaka-cakap dengan Pegeg. Dan sesampainya di dusun, sehari kemudia saya pergi kewarung Sari. Saya menceritakan semuanya. Larut malam saya baru pulang tanpa diberi kesempatan untuk membayar kopi yang telah saya minum.
Sementara itu saya sibuk lagi dengan tugas saya yang gajinya selalu merendah. Tapi memang nasib saya untuk menjadi guru. Sampai pada hari itu, tiba-tiba segalanya berubah bagi hidup kami. Surat dari mertua saya telah memaafkan kami dan menerima kami kembali ke Jawa untuk mengurus took tembakaunya.
Perkawinan kami sebelumnya tidak mendapat restu oleh orang tua istri saya. Mengingat saya sendiri orang bali, sedangkan Ningsih, istri saya, orang jawa.
Setelah berunding dengan Ningsih, kamipun akhirnya pulang ke Jawa sambil meboyong dua anak kami.
Dan sejak itu saya tidak pernah mendengar lagi berita dari dusun kecil itu. Tentang Pegeg pun saya tidak mendapat kabar.
Pada suatu hari, saya sedang mengurus tembakau saya di pasar. Memang menyenangkan jadi pedagang. Harga tembakau yang selalu naik, mungkin karena bertambahnya orang-orang perokok, membuat saya semakin semangat bekerja. Untung yang lumayan membuat orang mengerti tentunya.
Tiba-tiba saya merasa ada orang menepuk bahu saya.
“Kok ada disini?” seru saya terkejut sekali.
Pak Brathi di depan saya.
“Merantau Gusti” katanya.
“Kok merantau?”
“Saya ingin bekerja baik-baik, saya telah jemu berjudi menyabung ayam”.
“Sekarang bekerja dimana?” Tanya saya.
“Tidak tetap Gusti, berpindah-pindah kota”.
Akhirnya iya saya ajak kerumah saya, saya tawarkan untuk menetap di kota saya ini dan bekerja bersama saya. Ia setuju sekali.
Ia bercerita banyak tentang dusun sebelum iya tinggalkan. Dan ia pun menceritakan tentang teman saya yang selama ini telah saya lupakan. Katanya , Pegeg telah pulang ke dusun. Ia sangat kurus sekali.
“Bagaimana dengan ayamnya?” Tanya saya.
“Menyedihkan sekali. Ayamnya berhasil berhadapan dengan ayam Panji Anom, tapi begitu masuk gelanggang ayam tersebut sudah tidak kuat bersabung lagi”.
“Tentu telah tua. Kalah karena tua,” kata saya.
“Dan bagaimana dengan Sari, jadi mereka kawin”, lanjut saya.
“Sari kawin lari dengan Jelantik. Gusti ingat jelantikbukan? Ia diam-diam mencintai Nyoman sari. Ketika Pegeg pulang kedusun, ia telah menjumpai Sari menghilang bersama Jelantik. Dan sejak itu Pegeg jarang kelihatan.  Ia lebih banyak berdia dalam rumah gubuknya sendiri”.
Saya jadi tertegun mendengarnya.
“Saya tidak mengerti, Gusti. Bagaimana mungkin Sari mau kawin lari dengan Jelantik. Sedang iya sudah Positif dengan Pegeg,” suara Pak Brathi lagi.
Saya masih terdiam.
“Menanti ada batasnya,” kata saya, tapi dalam hati. Saya tidak mampu mengucapkan kalimat itu, ketika itu.
Denpasar, Oktober 1968
Sastra
No. 5, Th.VII, Mei 1969
Cerpen pada Cerita Pendek Indonesia IV
Penerbit; PT Gramedia Jakarta.


0 komentar:

Posting Komentar

◄ Posting Baru Posting Lama ►

Comment

 

Copyright © 2013. HanyaBlogspotDotCom - All Rights Reserved Ini Blogspot by HanyaBlogspotDotCom