26 April 2013

Cerpen 1968 AYAM SABUNGAN oleh Faisal Baraas

AYAM SABUNGAN 
oleh. Faisal Baraas

Diwarung Nyoman Sari, beberapa orang yang diseegani didusun itu, sedang membincangkan kemungkinan ikut dalam perlombaan sabung ayam kali ini.
Tiap-tiap hari Galungan, didalam puri Anak Agung Panji Anom yang jauhnya kira-kira  40 kilometer dari dusun kecil itu, selalu diadakan sabung ayam yang menarik sekali. Panji Anom sebagai keturunan raja-raja yang pernah memerintah Bali pada waktu dahulu, memiliki kegemaran aneh yang diwarisi dari para leluhurnya. Iya gemar sabung ayam dengan hadiah sebidang sawah bagi pemenang yang ayamnya dapat mengalahkan ayam Panji Anom. Tetapi apabila ayam beliau yang menang, iya tidak meminta apa-apa pada lawannya.

Sebidang sawah yang dijadikan hadiah tersebut dapat dimiliki siapa saja yang menang, selama dua tahun. Dan apabila jangka waktu yang ditentukan sudah lewat, maka sawah itu harus dikembalikan lagi kepada Anak Panji Anom.

Karena kegemarannya yang aneh inilah Panji Anom dikenal diseluruh daerah sebagai seorang keturunan keluarga puri yang dermawan dan menyenangkan.

Untuk perlombaan dihari Galungan kali ini, dusun itu telah memutuskan untuk ikut dan mengirimkan salah seorang wakilnya.

Orang-orang sedang berdebat dengan sengit dalam menentukan, ayam dari dusun siapa yang akan ditunjuk sebagai wakil yang bisa diharapkan, ketika seorang yang tampaknya sederhana sekali mengangkat tangannya dengan sedikit gugup dan kemudian berkata,
"Kalau diizinkan tiang mohon ayam jago tiang yang dikirim"
Orang-orang menoleh kepadanya.
Iya adalah seorang lelaki di dusun itu yang kira-kira berumur dua puluh sembilan tahun. Tidak begitu tegap, walaupun kulitnya tampak coklat tua dibakar matahari. Pada wajahnya nampak sedikit kesederhanaan dan sedikit ketololan. Iya hanya mengenakan kolor hitam yang sudah tambal-tambal dan bajunya yang sudah putih kotor tidak dipakainya, tapi hanya dipegang.

Saya, sebagai guru sekolah dasar yang dihormati dan disegani di dusun kecil itu dan dianggap sebagai orang yang bisa memberikan pertimbanga-pertimbangan  yang benar, segera mendekati lelaki itu dan menanyainya.
"Engkau mempunyai ayam jago yang totosan?"
"inggih..." jawabnya gugup dan membungkuk dihadapan saya.
"Sudah perh kau adu di banjar? Ayam yang mana? Saya belum pernah melihatnya."
"Belum Gusti, tiang  ragu-ragu untuk mengadunya tempo hari."
"Bagaimana engkau tau, engkau belum pernah melihat sepak terjangnya?" tanya saya lagi.
Iya terdiam dan tidak berani memandang saya. 
Saya menepuk bahunya.

Tiba-tiba datang seseorang masuk kedalam warung. Ternyata iya adalah wayan jelantik, pemuda yang saya telah kenal beberapa bulan lalu ketika saya dipindahkan mengajar di dusun kecil ini. Iya pemuda yang berkemauan keras, bersungguh-sungguh dan sederhana.
Iya segera mendekati saya dan berkata,

"Pak saya yang menganjurkan Pegeg untuk mengajukan ayamnya. Iya tetangga saya. Saya sudah melihat ayamnya itu. Sepak terjangnya luar biasa dan aneh sekali. tidak bisa disuga. Saya yakin ayamnya bisa menang."

Saya melihat kembali kepada lelaki yang bernama pegeg ini. Kemudian memperhatikan wajah orang-orang dalam kerumunan itu. Tampaknya mereka menyerahkan seluruh persoalan dan keputusan kepada saya.

"Bagaimana pendapat pak Kelian?" tanya saya kepada seorang lelaki yang sudah berumur dan sedikit ubanan.
"Terserah kepada Gusti, Gusti lebih tau dari tiang."
"Baiklah", kata saya kemudian.
dan kepada Pegeg saya katakan,
"datanglah kerumah saya nanti sore". Jangan takut-takut. Saya ada dirumah sepanjang hari minggu ini. Dan jangan lupa bawa ayammu itu, sayang ingin melihatnya"

Sore harinya, Pegeg datang kerumah saya dengan menyangkol ayamnya. Saya heran sekali memperhatikan ayam itu. Melihat kondisi-kondisi tubuhnya, iya bukan seekor ayam totosan. Saya memegang ayam itu, meraba pahanya, lehernya dan mengacung-acungkannya.

Dusun kecil ini, seperti dusudusun kecil di Bali telah mengenal sabungan ayam sebagai bagian dari hidup mereka. Dan sebagai putra Bali, saya mengerti type-type ayam jago yang baik yang dikenal sebagai ayam jago totosan. Tetapi ayam yang kini berada ditangan saya, jauh dari sifat-sifat sebagai ayam jago totosan. Saya memperhatikan ayam itu dan sesekali memperhatikan wajah Pegeg. Ayam itu kurus dan bulunya jarang-jarang, walaupun kalau dirapa tubuhnya gempal dan keras. Kaki-kakinya panjang sekali, sehingga kelihatan amat jangkung. Sama sekali tidak kukuh, tapi ringan.

Saya teriam untuk beberapa lama. Kemudian,
"Baiklah, saya ingin melihat sepak terjangnya. Mari diadu dengan ayam saya."

Saya mempunyai ayam jago yang sebenarnya bukan ayam aduan, tapi untuk  dipotong dua minggu lagi dalam merayakan ulang tahun istri saya. Tapi jago saya ini setidaknya masih mampu untuk menampar ayam-ayam yang mencoba mengganggu betina. 

Kami segera menuju kehalaman. Kedua ayam itu segera di peragakan. Segera saya bisa mengetahui, keanehan terjangan ayam Pegeg itu. Tubuhnya ringan dan melambungnya tinggi. Dan dalam setiap gebrakan, ayam itu mempergunakan kaki-kakinya dengan baik, seolah diperhitungkan sekali. Setelah empat menit ayam saya sudah mengeok diruntuhkan.

"Hebat sekali," seru saya.
"Baiknya diadu dengan ayam-ayam jago lainnya, Pegeg. Di balai banjar!" seru saya.
"Ayammu tentu menang. Saya belum pernah melihat ayam begini," kata saya lagi.

Dua hari kemudian, sore-sore, balai banjar sudah ramai sekali. Beberapa ayam jago yang tangguh yang berada di dusun itu berkokok-kokok dalam kurungannya. Hampir seluruh penduduk datang sehingga penuh sesak dan ribut. Bahkan tidak ketinggalan wanita-wanita, gadis-gadis dusun, yang hanya memakai BH yang tidak sempurna lagi, yang sudah merupakan kebiasaan di dusun-dusun di Bali. 

Pertandingan diatur oleh Pan Brathi. Diajukan sepuluh jago yang akan diperlagakan berganti-ganti melawan jagonya Pegeg.

Penonton bersiut-siut. Jago petama pun dikeluarkan dari kandangnya dan segera di hadapkan dengan jago Pegeg. Seperti ayam dua hari yang lalu, jago ini pun sudah keok tidak sampai empat menit. Lalu, jago kedua, ketiga, keempat,  kelima, keenam... ayam Pegeg kelihatan tanda-tanda kelatihannya. Iya masih tampak angkuh dan berkokok. Besar suara kokoknya.  Jago ketujuh, kedelapan, kesembilan... runtuh pula. Kemudian dihentikan karena tampak jago Pegeg sudah letih sekali. itu atas permintaan yang antusiasnya mengagumi jagon aneh itu dan mengasihaninya.

Orang-orang mengelu-elukannya. Tidak ketinggalan pemiliknya, diam-diam menjadi perhatian gadis-gadis dusun itu yang mencuri-curi memandangi Pegeg dengan malu-malu. Seorang gadis mendekati Pegeg di tengah kerumunan itu.
"Beli, beli Pegeg... "
Tiang = Saya
totosan = Keturunan hebat
Menyangkol = Menggendong
Beli =  Abang, Kak
 .......................................
Berlanjut... Posting berikutnya!!!

0 komentar:

Posting Komentar

◄ Posting Baru Posting Lama ►

Comment

 

Copyright © 2013. HanyaBlogspotDotCom - All Rights Reserved Ini Blogspot by HanyaBlogspotDotCom